Berbicara masalah pariwisata tentu tidak bisa lepas dari 2 unsur, yaitu
wisatawan dan objek wisata. Adanya kebutuhan manusia baik secara sosial maupun
individu terhadap pemenuhan akan kebutuhan rekreasi membentuk suatu pola
pergerakan yang biasanya dilakukan secara temporary.
Ada beberapa catatan yang diungkapkan dalam beberapa penelitian terkait dengan kepariwisataan. Menurut Pendit (2003), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
Kepariwisataan menurut UU No.24/1979 dalam Marpaung (2002) diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelengaraan wisata, yaitu keseluruhan kegiatan dunia usaha dan masyarakat yang ditujukan untuk menata kebutuhan perjalanan dan persinggahan wisatawan. Kawasan wisata menurut Pendit (2003) adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan wisata (Nyoman S. Pendit; Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana; 2003:14). Pengembangan kawasa wisata ini memiliki beberapa kriteria yang dijelaskan oleh Revron O’Grandy yang dikutip dari Sastrayuda (2007), yaitu:
Ada beberapa catatan yang diungkapkan dalam beberapa penelitian terkait dengan kepariwisataan. Menurut Pendit (2003), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
Kepariwisataan menurut UU No.24/1979 dalam Marpaung (2002) diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelengaraan wisata, yaitu keseluruhan kegiatan dunia usaha dan masyarakat yang ditujukan untuk menata kebutuhan perjalanan dan persinggahan wisatawan. Kawasan wisata menurut Pendit (2003) adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan wisata (Nyoman S. Pendit; Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana; 2003:14). Pengembangan kawasa wisata ini memiliki beberapa kriteria yang dijelaskan oleh Revron O’Grandy yang dikutip dari Sastrayuda (2007), yaitu:
- Untuk memutuskan suatu kegiatan membangun kawasan wisata harus melalui suatu konsultasi dengan masyarakat, apa yang direncanakan pengembang harus diterima oleh mereka.
- Tiap keuntungan yang diperoleh dari pembangunan, pengembang harus mengembalikan lagi keuntungan tersebut pada masyarakat namun bukan berupa cash money melainkan berupa bangunan yang berguna bagi masyarakat.
- Kawasan wisata harus mengutamakan lingkungan dan dalam pembangunannya tidak boleh meninggalkan kebudayaan setempat. Justru hal tersebut harus dijadikan brand image atau kesan untuk menarik para wisatawan. Dan dengan pembangunan kawasan wisata tersebut jangan sampai masyarakat setempat merasa tersisihkan.
Apa yang diungkapkan oleh O’Grandy
yang dikutip dari sastrayuda (2007), mengindikasikan bahwa harus ada
keseimbangan antara pendapatan pemerintah/swasta terhadap kesejahtraan
masyarakat dan keberlangsungan nilai-nilai sosial dan budaya setempat. Konsep ini
sekaligus menjadi salah satu landasan terhadap pengembangan konsep pariwisata
yang berkelanjutan.
Pulau Lombok yang merupakan salah
satu destinasi wisata yang baru berkembang memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan dengan konsep pariwisata yang berkelanjutan. Secara potensi pulau
lombok memiki sumber daya alam yang sangat melimpah begitu juga dengan sumber
daya manusia yang berupa adat istiadat dan budaya yang telah terbentuk selama
ratusan tahun.
Pantai Kute di Lombok Tengah |
Pertanyaannya adalah bagaimana
bisa dua pulau yang hampir identik, yaitu Pulau Bali dan Pulau Lombok memiliki
disparitas yang begitu luas biasa besar? Jika melihat data statistik yang
dirilis oleh BPS, pada tahun 2011 jumlah wisatawan yang masuk ke bali periode
Januari sampai aprli adalah sebesar 1.303.609 jiwa, sedangkan yang masuk NTB
(pulau Lombok adalah salah satu pulau yang ada di provinsi NTB) di tahun 2011
periode januari sampai desember adalah sebesar 886.880 jiwa. Wisatawan yang
datang ke bali hanya dalam periode 4 bulan hampi sebesar 2 kali jumlah yang
masuk ke NTB dalam periode 12 bulan. Tentu ini adalah angka yang cukup
fantastic. Sehingga tidak salah jika ada banyak orang yang akan mengungkapkan
pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang saya sampaikan.
Jika kita melihat secara realistis,
memang perbandingan ini sangat tidak relevan karena perkembangan suatu wilayah
dipengaruhi oleh kompleksitas dari berbagai unsur. Kita tidak bisa membandingan
secara utuh, perkembangan pariwisata pulau lombok dengan bali. Melihat sejarah
perkembangan pulau bali, pariwisata tumbuh di tahun 1970an, dimana kondisi
Bandara Ngurah Ray hampir sama dengan Bandara International Lombok (BIL) saat
ini. Artinya secara gamblang bisa saya bilang bahwa pulau lombok baru akan
membangun pariwisatanya.
Pertanyaanya kemudian adalah
bagaimana bisa destinasi wisata yang sudah dikenal begitu lama baru membangun
pariwisatanya sekarang? Dan apakan akan bisa berkembang seperti di bali? Saya
tidak akan mengatakan bahwa bali memiliki konsep pariwisata yang bagus, tetapi
paling tidak saat ini pulau bali bisa menyediakan kenyamanan bagi wisatawan
untuk menikmati liburanya. Apakah dilombok bisa? Saya kira itulah pertanyaan
besarnya.
Saya pernah berkeliling
pulau lombok, dari ujung barat (kota Mataram) sampai ujung timur (Lombok Timur)
dan dari ujung utara (Lombok Utara) sampai ujung selatan (Lombok Tengah). Beberapa
destinasi wisata sudah saya kunjungi, yaitu diantaranya:
Air Terjun Sendang Gile di Lombok Utara |
Tiga Gili di Kabupaten Lombok Barat |
Pantai Senggigi di Kabupaten Lombok Barat |
Pantai Kute di Lombok Tengah |
Pantai Kute di Lombok Tengah |
Pantai Kute di Lombok Tengah |
Teluk Ekas di Lombok Timur |
Tanjung Ringgit di Lombok Timur |
Beberapa objek di atas menggambarkan
bagaimana potensi sumber daya alam yang bisa dikembangkan di lombok. Secara
pribadi saya menilai lombok memiliki sumber daya alam yang tidak kalah
dibandingkan dengan sumber daya alam di bali. Ini menjadi modal besar untuk
pembangun NTB khususnya pulau lombok melalui sector pariwisata. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk meningkatkan pembangunan di sector ini, salah satu yang
sangat gencar adalah pembangunan sarana dan prasarana penunjang kawasan,
diantaranya adalah pembangunan BIL sebagai salah satu akses dunia internasional
ke NTB, pembangunan akses jalan by pass dari Lombok Barat menuju BIL,
pemabngunan jalan-jalan penghubung lainya menuju ke destinasi-destinasi wisata.
Tidak hanya pembangunan fisik semata, berbagai konsep-konsep pengembangan mulai
dimasukan dalam dokumen-dokumen perencanaan.
Besarnya usaha baik
secara fisik maupun non fisik ini, sampai sejauh ini belum mendapatkan hasil
yang sepadan. Pertanyaanya kemudian adalah, apa yang salah dengan usaha-usaha
yang telah dilakukan? Jika saya coba membandingkan, pada tahun 2006 Kampung Improvement Program (KIP) adalah
salah satu program unggulan untuk membangun wilayah berbasis masyarakat, tapi
sayang setelah beberapa evaluasi, program ini tidak mendapatkan hasil yang
maksimal. Program ini sendiri terbagi menjadi pengembangan fisik yang berupa
pembangunan jalan, drainase, bangunan serbaguna dll yang dialokasikan sekitar
70 %, sedangkan untuk tahap selanjutnya adalah pengembangan sumber daya manusia
dalam bentuk pelatihan, peningkatan skil dan kreatifitas masyarakat dll yg
dialokasikan sekitar 30%. Hal yang serupa juga terjadi di lombok, pemerinta
lebih banyak menyoroti aspek fisik dibandingkan aspek sumber daya manusia,
padahal salah satu faktor untama kesuksessan pengembangan pariwisata adalah
hospitality. Berikan kenyamanan yang setinggi-tingginya pada wisatawan melalui
pelayanan yang baik. Dan itu tidak terjadi di lombok, dari berbagai perjalanan
yang saya lakukan saya belum sekalipun mendapatkan pelayanan yang baik, bukan
hanya di daerah pelosok, tetapi juga di kawasan-kawasan yang memiliki akomodasi
yang baik.
(http://artopraph.blogspot.com/2013/01/pulau-lombok-dan-pariwisatanya.html)
(http://artopraph.blogspot.com/2013/01/pulau-lombok-dan-pariwisatanya.html)
0 komentar:
Posting Komentar